Selasa, 24 Juli 2012

Tentang Sebuah Skenario Hidup

Lama tak menuliskan sesuatu diblog ini. Lama pula menyibukkan diri dengan kehidupan dirumah. Setelah 6 Bulan tak pernah pulang karena kegiatan Kampus yang sangat padat, akhirnya bisa pulang. Baru kali ini pulang ke rumah sangat telat biasanya biasa menikmati liburan lebih awal tapi karena Final Praktikum untuk sebuah mata kuliah yang akhirnya menjadi alsaan utama kepulangan terlambat. 

Jauh sebelum hari ini, benarbenar menikmati hari-hari dikampung. Menikmati hari-hari bersama Papa, Mama, dan Si Bungsu meski tetap sibuk menyambangi rumah Kakek dan nenek untuk sekedar silaturrahmi dan mengunjungi Adekkuu *adeksepupu* yang selalu menelpon minta dikunjungi. Waawww… too Busy I Think but really enjoy it cause we’re together. And Always, setiap kemanamana selalu take picture.
Well.. Lanjut dengan apa yang saya lakukan. Beberapa hari setelah pulang, Ramadhan pun datang. Menyambutnya dengan gembira dan penuh syukur. Alhamdulillah masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara bulan Suci ini. Mengucap Syukur yang tiada henti karena telah diberikan kesempatan untuk kembali bersuci, untuk kembali memperbaiki diri, untuk kembali fitrah. InsyaALLAH.

Menyambut Ramadhan, selalu ada cerita manis diawal memulai puasa. Meski awal Ramadhan berbeda antara Muhammadiyah dan Pemerintah tetapi semangat Ramadhan tetap terasa sama tak ada yang berbeda. Ramadhan, Sahur, Tarawih, Baca Al-Qur’an, Shalat Berjamaah, dan Berbuka Puasa. Hal-hal ini yang selalu kuu rindukan saat Ramadhan. Membuat Takjil *atau yang orang Sulawesi Selatan lebih akrab menyebutnya Pa’buka*  bersama Mam dan Sang Adik. Menu Pa’buka yang selalu ada di meja makan yang WAJIB itu adalah onde-onde, bubur sumsum, dan sesuatu yang terbuat dari pisang. Sesuatu yg terbuat dari pisang yang biasa dibuat Sang Mam itu Palla Butung dan Pisang Ijo juga Kolak Pisang. Selain itu, Mam juga biasa buat bubur kacang ijo. Berhubung saya tidak suka Gula Aren jadi biasanya cuma sentuh Bubur Sumsum, Palla Butung, sama Pisang Ijo *hehehe*.  Lepas berbuka puasa, dilanjutkan dengan Shalat Maghrib Berjamaah. Papa, Si Bungsu, Mama, dirikuu, dan Sang Adik. Setelah berjamaah, lanjut untuk bersiap makan malam. Menu makan malam yang sudah sangat wajib saat bulan ramadhan itu adalah Kapurung. Kapurung sendiiri terbuat dari sagu yang merupakan makanan pokok kedua orang-orang sekitar Luwu setelah Nasi Putih. Setelah bersantap malam dan bersih-bersih meja makan, bersiap untuk tarawih. Berhubung akhir-akhir ini Papa sedang sakit, jadi dia tarawih dirumah sendiri. Mam, Si Bungsu, Dirikuu dan Sang Adik berangkat ke masjid dan baru kembali setelah tarawih selesai.

Lepas dari rutinitas tersebut, Ramadhan kali ini lebih ingin mendekatkan diri denganNya dan mengamati orang-orang disekelilingku. Sampai hari ini, benar-benar menikmati Ramadhan dan tidak ingin diganggu dengan SMS2 sendAll atau pesan-pesan yang hanya sekedar ingin menyapa. Alhasil, Hape yang biasa online 24 jam semenjak memulai hari libur *alayahh:D* tidak diaktifkan alias NONaktif. Bukan nonaktif total sih, tapi dinyalakan hanya seperlunya saja, mengecek pesan masuk sempat saja ada pesan penting, lalu kemudian kembali OFF. Bukan sok sibuk, tapi karena memang tidak ingin diganggu dan tidak ingin mengganggu. Karena Hape yang jarang aktif teman2 SMA pun marah2 karena selalu nelpon tapi nomor tidak aktif. Begitupun dengan Facebook dan twitter. Sekarang hanya sekedar mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman2 dan membalas mention teman2 di twitter atau sekedar share sesuatu yang sedang ingin dituliskan.
Ramadhan kali ini, lebih banyak melihat dan merenung. Mengamati orang-orang sekitar, dan sekedar mem-FlashBack apa yang terjadi kemarin. Lebih banyak mengamati tingkah-tingkah orang di sekelilingku. Melihat kehidupan mereka yang nyata. ‘REAL’ tanpa topeng.


Terkadang tergugah melihat mereka yang tinggal 1 rumah dengan beberapa keluarga kecil dan keluarga besar didalamnya. Tinggal di sebuah rumah yang tak begitu luas dengan 13 orang kepala didalamnya dan mereka yatim. Ditinggal Sang Ibu atau Sang Nenek yang meninggal karena kecelakaan 2006 silam membuat mereka harus bertahan hidup dengan saling membantu masing-masing. Hidup dengan makan seadanya, dan tak pernah membayangkan untuk hidup mewah.
Hidup dalam sebuah kesederhanaan, membuat mereka lebih sering tertawa lepas untuk sekedar mengajak penghuni rumah sejenak melupakan sesak dan pusing memikirkan hari esok, akankah lebih baik atau masih sama seperti hari ini. Lepas menyantap sahur, menunggui imsak dan adzan subuh kemudian menjemput mentari diantara pematang sawah dengan rumput yang hampir selutut. Melepas baju lusuh bekas tidur semalam lalu kemudian menggantinya dengan pakaian dinas kantor. Begitu mereka menyebutnya. Pakaian Dinas yang warnanya cokelat karena tiap harinya terkena lumpur karena harus terjun ke dalam kubangan lumpur yang becek. 

Memulai pagi dengan mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh diantara padi-padi yang baru mulai tumbuh. Memilih dengan hati-hati antara rumput liar dan daun padi yang sama-sama hijau diantara pagi yang baru menjemput. Sekedar bercanda menghibur diri dengan tingkah bocah-bocah dirumah yang selalu mengundang tawa. Sejenak beristrahat menghirup udara pagi yang masih basah sekedar melepas penat lalu kemudian lanjut. Begitu seterusnya, sampai matahari mulai meninggi dan penat sudah tak terperihkan.
Lepas dari sawah kembali ke rumah yang jaraknya hanya beberapa meter saja. Membersihkan diri. Lalu kemudian beristirahat. Bercengkrama dengan anak maupun keponakan yang masih kecil. Lepas itu menunggu siang dengan sekedar berjalan-jalan berharap menemukan sesuatu disana yang bisa sedikit melegakan buka puasa nanti. 

Mereka adalah tetangga rumah yang bagi kami sudah seperti keluarga. Bulan Ramadhan sudah menjadi kebiasaan kami untuk sekedar membagikan buka puasa untuk mereka. Tak jarang, jika mereka memiliki rejeki yang berlebih terkadang mereka juga mengantarkan buka puasa ke rumah. Memiliki adik-adik atau keponakan yang masih kecil tak jarang membuat kami sering mengajak mereka ke rumah untuk belajar. Belajar membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa inggris. Dengan umur mereka yang masih dibawah 10 tahun nasih lucu2nya walaupun kadang membuat jengkel *:D*. 

Dari mereka, aku belajar banyak. Seperti bagaimana menghargai waktu, mensyukuri setiap nikmat yang diberikan olehNya dan tak pernah mengeluh. Meski bagi mereka pastilah selalu merasa tak puas dengan apa yang mereka raih sampai hari ini. Kuu rasa itu adalah sesuatu yang lumrah dengan sikap manusia yang tak pernah puas. Tapi dibalik rasa ketidakpuasan itu, setidaknya mereka masih mengucap syukur diantara ketidakcukupan itu. Dan satu  yang selalu kuu ingat. Pernah sang tante berkata…

“Dinda.. walaupun hidup dengan apa adanya, terkadang hanya makan sayur dan ikan kering, atau bahkan hanya sebungkus indomie dan sambel terasi dengan sayur singkong rebus, kami tak pernah mengeluh. Karena pesan sang Ibunda di nafas terakhirnya, jangan pernah mengeluh karena hidup. Tuhan sudah punya rencana lain untuk tiap umatnya dan tuhan tak pernah memberikan cobaan kepada umatnya diluar kemampuan mereka. Jadi, hidup tidak harus selalu mengeluh dinda. Masih banyak orang diluar sana yang mungkin saja masih lebih menderita. Kami masih bisa bersyukur karena masih memiliki rumah yang jadi tempat berlindung dari panas, dingin, hujan, maupun angin kencang dan masih memiliki orang-orang yang selalu mengajak kami untuk selalu bersyukur. Dinda.. ingat, jangan lupa bersyukur meski untuk hal-hal yang kecil.”


Mendengar kata-kata tante Asni, seakan menyadarkan kuu.. Skenario setiap orang dalam menjalani hidup ini berbeda-beda. Tuhan selalu punya rencana yang indah untuk setiap umatnya. Hidup adalah sebuah pilihan yang sudah digariskan.


2 komentar:

  1. Menikmati sajian roman hidup adalah cara pertama & terbaik dalam kita menjalani kehidupan,toh memang inilah bumbu sederhana yang tak akan lekang oleh waktu & jaman

    BalasHapus
    Balasan
    1. setujuuu kakk.. :D
      makasii dahh mampiir lagii kakk.. :))

      Hapus

Saran dan Komentar kalian sangat membantu dalam pengembangan blog inii.. :)