Lama tak menuliskan sesuatu diblog ini. Lama pula
menyibukkan diri dengan kehidupan dirumah. Setelah 6 Bulan tak pernah pulang
karena kegiatan Kampus yang sangat padat, akhirnya bisa pulang. Baru kali ini
pulang ke rumah sangat telat biasanya biasa menikmati liburan lebih awal tapi
karena Final Praktikum untuk sebuah mata kuliah yang akhirnya menjadi alsaan
utama kepulangan terlambat.
Jauh sebelum hari ini, benarbenar menikmati hari-hari
dikampung. Menikmati hari-hari bersama Papa, Mama, dan Si Bungsu meski tetap
sibuk menyambangi rumah Kakek dan nenek untuk sekedar silaturrahmi dan
mengunjungi Adekkuu *adeksepupu* yang selalu menelpon minta dikunjungi. Waawww…
too Busy I Think but really enjoy it cause we’re together. And Always, setiap
kemanamana selalu take picture.
Well.. Lanjut dengan apa yang saya lakukan. Beberapa hari
setelah pulang, Ramadhan pun datang. Menyambutnya dengan gembira dan penuh
syukur. Alhamdulillah masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara bulan
Suci ini. Mengucap Syukur yang tiada henti karena telah diberikan kesempatan
untuk kembali bersuci, untuk kembali memperbaiki diri, untuk kembali fitrah.
InsyaALLAH.
Menyambut Ramadhan, selalu ada cerita manis diawal memulai
puasa. Meski awal Ramadhan berbeda antara Muhammadiyah dan Pemerintah tetapi
semangat Ramadhan tetap terasa sama tak ada yang berbeda. Ramadhan, Sahur,
Tarawih, Baca Al-Qur’an, Shalat Berjamaah, dan Berbuka Puasa. Hal-hal ini yang
selalu kuu rindukan saat Ramadhan. Membuat Takjil *atau yang orang Sulawesi
Selatan lebih akrab menyebutnya Pa’buka*
bersama Mam dan Sang Adik. Menu Pa’buka yang selalu ada di meja makan
yang WAJIB itu adalah onde-onde, bubur sumsum, dan sesuatu yang terbuat dari
pisang. Sesuatu yg terbuat dari pisang yang biasa dibuat Sang Mam itu Palla
Butung dan Pisang Ijo juga Kolak Pisang. Selain itu, Mam juga biasa buat bubur
kacang ijo. Berhubung saya tidak suka Gula Aren jadi biasanya cuma sentuh Bubur
Sumsum, Palla Butung, sama Pisang Ijo *hehehe*.
Lepas berbuka puasa, dilanjutkan dengan Shalat Maghrib Berjamaah. Papa,
Si Bungsu, Mama, dirikuu, dan Sang Adik. Setelah berjamaah, lanjut untuk
bersiap makan malam. Menu makan malam yang sudah sangat wajib saat bulan
ramadhan itu adalah Kapurung. Kapurung sendiiri terbuat dari sagu yang
merupakan makanan pokok kedua orang-orang sekitar Luwu setelah Nasi Putih. Setelah
bersantap malam dan bersih-bersih meja makan, bersiap untuk tarawih. Berhubung
akhir-akhir ini Papa sedang sakit, jadi dia tarawih dirumah sendiri. Mam, Si
Bungsu, Dirikuu dan Sang Adik berangkat ke masjid dan baru kembali setelah
tarawih selesai.
Lepas dari rutinitas tersebut, Ramadhan kali ini lebih ingin
mendekatkan diri denganNya dan mengamati orang-orang disekelilingku. Sampai
hari ini, benar-benar menikmati Ramadhan dan tidak ingin diganggu dengan SMS2
sendAll atau pesan-pesan yang hanya sekedar ingin menyapa. Alhasil, Hape yang
biasa online 24 jam semenjak memulai hari libur *alayahh:D* tidak diaktifkan
alias NONaktif. Bukan nonaktif total sih, tapi dinyalakan hanya seperlunya
saja, mengecek pesan masuk sempat saja ada pesan penting, lalu kemudian kembali
OFF. Bukan sok sibuk, tapi karena memang tidak ingin diganggu dan tidak ingin
mengganggu. Karena Hape yang jarang aktif teman2 SMA pun marah2 karena selalu
nelpon tapi nomor tidak aktif. Begitupun dengan Facebook dan twitter. Sekarang
hanya sekedar mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman2 dan membalas
mention teman2 di twitter atau sekedar share sesuatu yang sedang ingin
dituliskan.
Ramadhan kali ini, lebih banyak melihat dan merenung.
Mengamati orang-orang sekitar, dan sekedar mem-FlashBack apa yang terjadi
kemarin. Lebih banyak mengamati tingkah-tingkah orang di sekelilingku. Melihat
kehidupan mereka yang nyata. ‘REAL’ tanpa topeng.
Terkadang tergugah melihat mereka yang tinggal 1 rumah
dengan beberapa keluarga kecil dan keluarga besar didalamnya. Tinggal di sebuah
rumah yang tak begitu luas dengan 13 orang kepala didalamnya dan mereka yatim.
Ditinggal Sang Ibu atau Sang Nenek yang meninggal karena kecelakaan 2006 silam
membuat mereka harus bertahan hidup dengan saling membantu masing-masing. Hidup
dengan makan seadanya, dan tak pernah membayangkan untuk hidup mewah.
Hidup dalam sebuah kesederhanaan, membuat mereka lebih
sering tertawa lepas untuk sekedar mengajak penghuni rumah sejenak melupakan
sesak dan pusing memikirkan hari esok, akankah lebih baik atau masih sama
seperti hari ini. Lepas menyantap sahur, menunggui imsak dan adzan subuh
kemudian menjemput mentari diantara pematang sawah dengan rumput yang hampir
selutut. Melepas baju lusuh bekas tidur semalam lalu kemudian menggantinya
dengan pakaian dinas kantor. Begitu mereka menyebutnya. Pakaian Dinas yang
warnanya cokelat karena tiap harinya terkena lumpur karena harus terjun ke
dalam kubangan lumpur yang becek.
Memulai pagi dengan mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh
diantara padi-padi yang baru mulai tumbuh. Memilih dengan hati-hati antara
rumput liar dan daun padi yang sama-sama hijau diantara pagi yang baru
menjemput. Sekedar bercanda menghibur diri dengan tingkah bocah-bocah dirumah
yang selalu mengundang tawa. Sejenak beristrahat menghirup udara pagi yang
masih basah sekedar melepas penat lalu kemudian lanjut. Begitu seterusnya,
sampai matahari mulai meninggi dan penat sudah tak terperihkan.
Lepas dari sawah kembali ke rumah yang jaraknya hanya
beberapa meter saja. Membersihkan diri. Lalu kemudian beristirahat.
Bercengkrama dengan anak maupun keponakan yang masih kecil. Lepas itu menunggu
siang dengan sekedar berjalan-jalan berharap menemukan sesuatu disana yang bisa
sedikit melegakan buka puasa nanti.
Mereka adalah tetangga rumah yang bagi kami sudah seperti
keluarga. Bulan Ramadhan sudah menjadi kebiasaan kami untuk sekedar membagikan
buka puasa untuk mereka. Tak jarang, jika mereka memiliki rejeki yang berlebih
terkadang mereka juga mengantarkan buka puasa ke rumah. Memiliki adik-adik atau
keponakan yang masih kecil tak jarang membuat kami sering mengajak mereka ke
rumah untuk belajar. Belajar membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa
inggris. Dengan umur mereka yang masih dibawah 10 tahun nasih lucu2nya walaupun
kadang membuat jengkel *:D*.
Dari mereka, aku belajar banyak. Seperti bagaimana
menghargai waktu, mensyukuri setiap nikmat yang diberikan olehNya dan tak
pernah mengeluh. Meski bagi mereka pastilah selalu merasa tak puas dengan apa
yang mereka raih sampai hari ini. Kuu rasa itu adalah sesuatu yang lumrah
dengan sikap manusia yang tak pernah puas. Tapi dibalik rasa ketidakpuasan itu,
setidaknya mereka masih mengucap syukur diantara ketidakcukupan itu. Dan satu yang selalu kuu ingat. Pernah sang tante
berkata…
“Dinda.. walaupun hidup dengan apa adanya, terkadang hanya
makan sayur dan ikan kering, atau bahkan hanya sebungkus indomie dan sambel
terasi dengan sayur singkong rebus, kami tak pernah mengeluh. Karena pesan sang
Ibunda di nafas terakhirnya, jangan pernah mengeluh karena hidup. Tuhan sudah
punya rencana lain untuk tiap umatnya dan tuhan tak pernah memberikan cobaan
kepada umatnya diluar kemampuan mereka. Jadi, hidup tidak harus selalu mengeluh
dinda. Masih banyak orang diluar sana yang mungkin saja masih lebih menderita.
Kami masih bisa bersyukur karena masih memiliki rumah yang jadi tempat
berlindung dari panas, dingin, hujan, maupun angin kencang dan masih memiliki
orang-orang yang selalu mengajak kami untuk selalu bersyukur. Dinda.. ingat,
jangan lupa bersyukur meski untuk hal-hal yang kecil.”
Mendengar kata-kata tante Asni, seakan menyadarkan kuu..
Skenario setiap orang dalam menjalani hidup ini berbeda-beda. Tuhan selalu
punya rencana yang indah untuk setiap umatnya. Hidup adalah sebuah pilihan yang
sudah digariskan.
Menikmati sajian roman hidup adalah cara pertama & terbaik dalam kita menjalani kehidupan,toh memang inilah bumbu sederhana yang tak akan lekang oleh waktu & jaman
BalasHapussetujuuu kakk.. :D
Hapusmakasii dahh mampiir lagii kakk.. :))